Jumat, 13 Maret 2015

UKM Dalam Menghadapi Persaingan Global & Domestik



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang masalah
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah sebuah usaha ekonomi produktif yang memiliki jumlah kekayaan dan penjualan tahunan tertentu dan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang untuk menentukan kategori usaha tersebut. Pengertian UMKM menurut BPS di dalam Kuncoro usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih


Menurut  Sri Winarni (2006)  Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara lain sebagai berikut (1)  Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4) Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi, (7)  Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.
Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejarah membuktikan, ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998 banyak usaha besar yang tumbang karena dihantam krisis tersebut, namun UMKM tetap eksis dan menopang kelanjutan perekonomian Indonesia. Tercatat, 96% UMKM di Indonesia tetap bertahan dari goncangan krisis. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2008-2009. Ketika krisis datang dan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru selamat ekonomi Indonesia.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga berperan dalam memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen. Angka  tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM dari tahun ke tahun.
Kinerja UMKM di Indonesia memang cukup membanggakan, apabila dilihat dari jumlah UMKM dan penyerapan UMKM terhadap tenaga kerja. Dalam bab selanjutnya akan dibahas mengenai kinerja UMKM di Indonesia dan hambatannya.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Kinerja UMKM di Indonesia
Sudah sering sekeali didalam banyak seminar dan media massa bahwa UMKM di Indonesia sangat penting, terutama sebagai sumber pertumbuhan kesempatan kerja atau pendapatan. Dalam beberapa tahun belkangan ini pemerintah telah menerapkan strategi baru. Didukung oleh pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang baik, strategi ini dipercaya bisa mendorong pembangunan ekonomi daerah sesuai keunggualan komparatif dan kompetitif yang ada.
UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED), dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun 2000, adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu : (1) Sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama, (2) Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha, (3) Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan (4) Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.

UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai penopang perekonomian. Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini pada dasarnya adalah sektor UKM. Berkaitan dengan hal ini, paling tidak terdapat beberapa fungsi utama UKM dalam menggerakan ekonomi Indonesia, yaitu (1) Sektor UKM sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal, (2) Sektor UKM mempunyai kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dan (3) Sektor UKM sebagai sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan sektor ini.
Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa asek, yaitu (1) nilai tambah, (2) unit usaha, tenaga kerja dan produktivitas, (3) nilai ekspor. Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut
      1.            Nilai Tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen. Nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp 287,7 triliun dari tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM memberikan kontribusi 53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci menurut skala usaha, pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7 persen, Usaha Menengah sebesar 15,6 persen, dan Usaha Besar sebesar 46,7 persen.
      2.            Unit Usaha dan Tenaga Kerja
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.
      3.            Ekspor UKM
Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari Rp 110,3 triliun pada tahun 2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun 2006. Namun demikian peranannya terhadap total ekspor non migas nasional sedikit menurun dari 20,3 persen pada tahun 2005 menjadi 20,1 persen pada tahun 2006.



2.1.1 Pertumbuhan Unit Usaha dan Tenaga Kerja
Menurut data dari Menteri Negara Urusan Koperasi dan UMKM (Menegkop & UKM) dan BPS pada tahun 2006, jumlah UMK mencapai sekitar 99,77 persen dari jumlah usaha yang ada di Indonesia, sedangkan jumlah UM dan UB masing-masing 0,22 peren dan 0,01 persen. Namun aju pertumbuhan unit usaha dari kelompok UM jauh lebih tinggi daripada UMK
Dilihat dari aspek kesempatan kerja, pada tahun 2006 UMK memeperkerjakan 80.933.384 orang, atau sekitar 91,4 persen dari jumlah angkatan kerja yang bekerja. Menurut wilayah, sebagian besar UMKM terdapat di Jawa. Distribusi wilayah dari \umk memberi kean adanya suatu korelasi positif antara pertumbahan usaha dari kategori ini dengan pertumbuhan dari variabel penentu sisi permitaan maupun sisi suplai.
Satu hal yang mencolok dari data BPS adalah sebagian bsar dari jumlah UMK terdapat di sektor pertanian, sementara UB di sektor manufaktur. Struktur UMK di Indonesia masih lemah alam kegiatan industri dibanding Taian, Korea Selatan, dan Jepang. Indonesia ,e,iliki potensi industri, namun harus memperbaiki penguasaan teknlogi informasi dan kualitas SDM.
Kelompok industi yang paling penting bagi umk adalah makanan, minuman, dan tembakau; tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki; dan produk kayu. Dari hasil penelitian Thee (1997), Sato (1998), dan Tambunan (1999) menemukan bahwa di Indonesia keterkaitan produksi dalam sisten subcntracting antara UMKM dan UB di indutri otomotif, elektronik, dan mesin belum sekuat negara maju di wilayah Asia, khususnya Jepang, Korea Selatan, Taiwan.
2.1.2 Struktur  Output dan Pangsa PDB
Data pemerintah menunjukkan bahwa dalam nilai riil, PDB dari UMK di semua sector ekonomi pada tahun 1997 hanya 38 persen. Pada tahun 1998, pada saat krisis ekonomi mencapai titik terburuknya dengan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai minus 13 persen, kontribusi output dari UMK dalam pembentukan PDB riil naik hanya sedikit, yakni hamper 41 persen. Pada tahun 1999, pangsa output agregat dari kelompok usaha ini naik ke sekitar 41,3 persen, dan setelah itupada tahun 2000 naik lagi sedikit ke 40,4 persen dan kenaikan ini berlangsung terus hingga 2006. Selama periode krisis (1997-1998) laju pertumbuhan output di UMK tercatat minus 19,3 persen, dan setelah krisis kinerja UMK lebih baik, walaupun dalam tahun-tahun pertama laju pertumbuhan rata-rata per tahun masih negative sekitar 2,5 persen.
           
Tahun 2000 UM menyumbang PDB riil sebesar 16,3 persen. Selama periode krisis, output-nya UM juga mengalami pertumbuhan yang negative hampir 35%. Ini menunjukkan bahwa UM mengalami lebih banyak kemunduran akibat krisis ekonomi daripada UMK. Sedangkan UB menyumbang PDB riil sebesar 43 persen. Saat krisis UB juga mengalami penurunan yang tinggi, namun setelah krisis perbaikan produksi di UB lebih baik daripada UMKM.
Laju pertumbuhan output selama periode 2001-2006:
·         UMK mengalami kenaikan dari 3,96 % menjadi 5,38%.
·         UM mengalami kenaikan dari 4,59% menjadi 5,44%
·         UB mengalami kenaikan dari 3,1% menjadi 5,7%.
Dilihat dari pangsa PDB non migas,  pangsa PDB UMKM lebih besar daripada UB, dan sejak tahun 2005 cenderung meningkat terus. Dan sumbangan UMK terhadap pembentukan PDB non migas dua kali lebih besar daripada UM.
Dipandang dari struktur PDB menurut skala usaha dan sektor tahun 2003-2006, UMKM memiliki keunggulan di sector yang berbasis sumber daya local dan padat karya, seperti pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan konsentrasi PDB dari UM terjadi di sejumlah sector tersier. Dengan pangsa terbesar di sector keuangan da lainnya. Dan pangsa terbesar dari UB adalah di sektor pertambangan dan industri manufactur.
Selain perbedaan dalam pemilikan factor-faktor utama penentu produksi, variasi dalam pangsa PDB antara skala usaha itu juga bias dikarenakan perbedaan dalam permasalahan dan kondisi eksternal ( termasuk tingkat persaingan dan kebijakan pemerintah).
Pada awal era orde baru, pemerintah menerapkan kebijakan subtitusi impor untuk mengembangkan industry nasional. Lalu pada decade 80-an kebijakan tersebut diganti dengan kebijakan strategi promosi ekspor. Dari dua kebijakan tersebut mengakibatkan perkembangan yang pesat pada industri skala besar. Di era 70-an dan 80-an banyak UB muncul di industry manufaktur . Namun, UMKM juga tidak mengalami penurunan dalam subsector industri.
Penjelasan utama dari kesanggupan UMKM diindonesia untuk tetap bertahan di tengah –tengah  persaingan persaingan ketat dari UB dan barang-barang impor :
·         Kemampuan-kemampuan mereka untuk mengeksplosit lowongan-lowongan yang ada
·         Mengonsentrasikan pada kegiatan-kegiatan industry yang dicirikan oleh aglomorasi ekonomi daripada skala ekonomi
·         Melayani pasar-pasar tertentu yang dari sisi komersial tidak menguntungkan UB
·         Membuat barang-barang yang pada proses produksinya tidak mudah diterapkan teknik/pola produksi massal.
2.1.3 UMKM sebagai sumber kemiskinan
Distribusi kesempatan kerja menurut skala usaha menegaskan bahwa UMKM merupakan penyerap tenaga kerja terbesar dibandingkan UB. Dan UMKM juga penting sebagai salah satu sumber penciptaan PDB. Namun secara teori, UMKM memiliki pangsa PDB yang tinggi karena jumlah unit yang sangat banyak dengan pertumbuhan output rata-rata per unit yang rendah. Dapat dikatakan UMKM memiliki produktivitas yang rendah dibandingkan UB.
            Khusus di industri  manufaktur, periode 2001-2005, produktivitas tenaga kerja di UB dan UM pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 257,58 juta per pekerja, sedangkan UMK hanya sebanyak Rp 19,83 juta per pekerja. Pada tahun 2001, produktivitas tenaga kerja di UB dan UM sebesar Rp 167,70 juta di bandingkan UMK hanya sebesar Rp 10,98 juta. ( sumber : BPS)
            Alternatif lainnya untuk mengukur tingkat kesejahteraan di UMKM adalah dengan menghitung tingkat produktivitas per unit usaha, yakni nilai output atau nilai tambah perunit usaha. Dalam kelompok UMKM tingkat produktivitas unit usaha dari UMK lebih rendah daripada UM. Meskipun produktivitas unit usaha dai UMK terus meningkat secara konsisten, nilainya tetap kecil, terutama dibandingkan dengan UB yang mencapai triliun rupiah per perusahaan.
Selain nilai output , tingkat produktivitas usaha diukur oleh rata-rata nilai penjualan per hari. Nilai omset adalah nilai keseluruhan barang dan jasa yang diperdagangkan. UMI memiliki nilai omset rata-rata perhari perusaha jauh lebih rendah dibandingkan UK apalagi UM. Sedangkan rasio yang sama dikedua subkelompok usaha lebih tinggi daripada rata-rata UMKM 
Selain nilai output , tingkat produktivitas usaha diukur oleh rata-rata nilai penjualan per hari. Nilai omset adalah nilai keseluruhan barang dan jasa yang diperdagangkan. UMI memiliki nilai omset rata-rata perhari perusaha jauh lebih rendah dibandingkan UK apalagi UM. Sedangkan rasio yang sama dikedua subkelompok usaha lebih tinggi daripada rata-rata UMKM.
Menurut sebuah laporan BPS , keuntungan UMKM terhadap keuangan keluarga mendukung pandangan tesebut. Ada kecendrungan semakin besar skala usaha semakin besar rata-rata anggota rumah tangga (ART) . Kelompok UMI memiliki rasio ketergantungan sebesar 4,3 yang artinya rata-rata sebanyak 4,3 orang ART hidupnya dibiyai oleh satu unit UMI. Kecendrungan lain adalah semakin besar skala usaha semakin besar pula kontribusi keuntungan usaha tsb.
Kecilnya sumbangan keuntungan/ pendapatan UMKM terhadap total pendapatan RT pengusaha, menandakan bahwa sumber pendapatan RT pengusaha UMKM tidak hanya dari kegiatan UMKM, tetapi juga dari sumber lainnya. Ini artinya ada ART lainnya bekerja ditempat lain. Seperti pada tabel 3.12 persentase dari ART yang bekerja diluar usaha di UMI lebih besar daripada di UK dan UM. Dapat dikatakan bahwa semakin kecil skala usahasemakin kecil pula peran usaha sebagai sumber utama / satu-satunya pendapatan RT. Korelasi ini sejalan dengan korelasi positif antara skala usaha dan produktivitas. Faktor utama yang membuat rendahnya produktivitas di UMKM di Indonesia adalah tingkat pendidikan formal pekerja yang rendah dan keterbatasan modal.Upaya peningkatan produktivitas tidak bisa tanpa nbantuan mesin modern atau teknologi baru, dan pemakaian mesin modernitu sendiri tidak akan memberika hasil optimal tanpa dibarengi keterampilan.
Rendahnya tingkat pendidikan formal pekerja dan pengusaha di UMKM tidak hanya membuat rendahnya produktivitas yang selanjutnya, sesuai mekanisme pasar, membuat rendahnya pendapatan riil rata-rata per pekerja atau tingkat keuntungan rata-rata per perusahaan.
2.1.4 Pengujian Teori ‘Klasik’ dan Teori ’ Modern’
Berdasarkan teori klasik dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pendapatan riil per kapita, semakin rendah pangsa PDM dari UMKM atau semakin sedikit jumlah unit usahanya. Sedangkan berdasarkan teori modern sebaliknya.
Secara metodologi, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran teori modern dan klasik. Salah satunya dengan menguji secara empiris bentuk dari korelasi-korelasi antara UMKM  dan pendapatan per kapita dan program pemerintah untuk pengembangan UMKM dengan menggunakan sebuah model regresi sederhana(LeastSquare ;LS)
Di dalam studi ini, tingkat pembangunan ekonomi diukur dengan tingkat pendapatan riil per kapita ,program-program pengembangan UMKM dari pemerintah dengan rasio dari total pengeluaran pembangunan pemerintah terhadap PDB, sejak tidak ada data lengkap, apalagi sifat nya deret waktu, mengenai pengeluaran-pengeluaran pemerintah selama ini untuk membiayai berbagai macam program pengembangan UMKM; dan pertumbuhan UMKM dengan pangsa dari total nilai tambah dari UMKM di dalam PDB.
2.2 Kinerja UMKM di Indonesia Dalam Pasar Global
            Ditengah tuntutan kemampuan bersaing didalam negeri yang masih dilindungi oleh proteksi pemerintah, UKM juga harus menghadapi persaingan global yang berasal dari berbagai bentuk usaha mendorong integrasi pasar antar negara dengan seminimal mungkin hambatan. Berbagai bentuk kerjasama ekonomi regional maupun multilateral sperti AFTA, APEC dan GATT berlangsung dengan cepat dan mendorong perekonomian yang semakin  terbuka. Pada kondisi lain, strategi pengembangan UKM masih menghadapai kondisi nilai tambah yang kecil termasuk kontribusinya terhadap ekspor.
Dengan pergeseran yang terjadi pada tatanan ekonomi dunia yang mengarah pada persaingan bebas, dapat dikatakan bahwa UKM sesungguhnya mengahadapi situasi yang bersifat double squeze, yaitu [a] situasi yang datang dari sisi internal (dalam negeri) berupa ketertinggalan dalam produktivitas, efisiensi dan inovasi, dan [b] situasi yang datang dari ekstermal pressure. Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dari kombinsi situasi yang dihadapi ini adalah masalah ketimpangan struktur usaha seperti yang diungkapkan diawal dan juga kesenjangan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah. Sedikitnya terdapat tiga keadaan yang membentuk terjadinya kesenjangan antar skala usaha di Indonesia. 
Pertama, akses usaha/industri besar terhadap teknologi dan menajemen modern jauh lebih besar daripada UKM. UKM masih bertahan pada teknologi dan manajemen yang sederhana bahkan cenderung tradisionil. Bahkan industri menengah yang dalam data BPS digabungkan dengan industri besar masih menunjukkan ciri dan karakter usaha kecil dalam hal akses teknologi dan manajemen usaha. 
Kedua, akses usaha skala besar terhdap pasar (termasuk informasi pasar) juga lebih terbuka, sementara UKM masih berkutat pada bagaimana mempertahankan pasar dalam negeri ditengah persaingan yang ketat dengan usaha sejenis. 
Ketiga, kurangnya keberpihakan kebijakan dan keputusan strategis pemerintah pada UKM pada masa lalu yang lebih menjadikan UKM sebagai entitas sosial dan semakin memperburuk dua kondisi diatas.
Untuk masa mendatang dengan tantangan globalisasi ekonomi dan persaingan bebas, struktur yang timpang dan kesenjangan akses ini tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Tidak ada jalan lain bagi Indonesia selain melakukan reformasi struktur usaha yang ada saat ini. Dalam konteks reformasi ini, menjadi sangat relevan untuk diberi ruang gerak yang longgar guna mengejar ketertinggalan namun juga dengan strategi yang tepat.
Dari sisi external pressure, liberalisasi perdagangan – melalui penurunan tarif maupun penghapusan quota - , kondisi pasar akan bergerak dari kurang kompetitif (karena besarnya intervensi dan praktek monopoli, oligopoli dan monopsoni) ke arah pasar yang lebih kompetitif. Dalam kondisi yang demikian, UKM akan terdorong untuk menuju pada efisiensi penggunaan input (least cost argument). Liberalisasi perdagangan seharusnya juga membuka peluang bagi perluasan pasar produk UKM itu sendiri melalui kemunculan insitusi yang secara spesifik ditujukan untuk membuka dan memperluas akses pasar UKM. Diantara bentuk institusi yang dinilai mampu memainkan fungsi tersebut adalah penguatan trading house sebagai piuntu saluran ekspor produk UKM dan pola subkontrak(Tambunan dan Seldadyo, 1996)
Namun demikian, tidak seluruh UKM dapat memanfatkan situasi pasar yang demikian untuk menembus pasar yang lebih luas atau bersaing dalam pasar yang semakin global. Sebagian besar UKM adalah perusahaan yang independen termasuk dalam memasarkan produknya. Sementara, dalam perdagangan bebas, sebenarnya tidaklah mudah bagi UKM yang independen untuk masuk pada pasar ekspor. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa : [i] tingkat kompetisi yang tinggi juga muncul dari UKM yang berada salam pasar output yang sama, dan [ii] adanya kelemahan inherent yang melekat dalam UKM itu sendiri. Dalam kondisi ini, kendati peluang pasar yang lebih terbuka menjadi lebih luas, liberalisasi perdagangan tidaklah otomatis dapat membantu UKM, bahkan justru menjadi ancaman bagi UKM. Disinilah dirasakan pentingnya peran pemerintah maupun institusi penopang untuk mendongkrak kinerja UKM.

2.3 Kebijakan Perdagangan Amerika Serikat Dalam Meningkatkan Kinerja Ekspor

Langkah awal yang diambil pemerintahan Obama adalah dengan disusunnya The President’s 2010 Trade Policy Agenda yang menggagas terbentuknya Export Promotion Cabinet yang fokus dalam menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan nilai ekspor hingga 2 kali lipat dari US$ 1.57 triliun tahun 2009 menjadi US$ 3.14 triliun pada tahun 2015, dan tentunya diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat AS.
National Export Initiatives (NEI) yang disusun oleh Pemerintahan Obama ini bertujuan untuk dapat menganalisa dan memberikan rekomendasi serta bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan guna mencapai target ekspor yang ditentukan tersebut.
Adapun fokus utama dan langkah-langkah perbaikan yang dilakukan oleh NEI meliputi:
      1.            Meningkatkan usaha advokasi dan promosi perdagangan sehingga kegiatan promosi yang dilakukan melalui misi dagang dapat didukung dengan baik.
      2.            Meningkatkan akses atas fasilitas pembiayaan ekspor (export financing);
      3.            Menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan di negara mitra dagang AS;
      4.            Menata dan menerapkan peraturan perdagangan sesuai perjanjian dengan mitra dagang AS;
      5.            Menyusun kebijakan perdagangan global untuk dapat mempromosikan pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan dan seimbang.
Melalui langkah-langkah perbaikan yang dilakukan tersebut maka disusunlah 8 (delapan) rekomendasi sebagai prioritas oleh NEI, yang melalui rekomendasi tersebut melibatkan koordinasi antar instansi/kementerian AS yang sifatnya lintas sektoral.
Rekomendasi yang disusun dengan beberapa rumusan disampaikan melalui capaian jangka pendek dan jangka panjang, sebagai berikut:
1.            Peningkatan Ekspor oleh UKM
·         Rekomendasi Jangka Pendek:
Dalam rekomendasi peningkatan ekspor oleh kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), diperlukan dukungan pemerintah dalam tahap (i) identifikasi pelaku usaha UKM yang potensial dalam melakukan ekspor; (ii) Melatih dan mempersiapkan pelaku usaha UKM yang telah teridentifikasi; (iii) Menghubungkan pelaku usaha UKM dengan pelaku usaha dinegara tujuan ekspor; dan (iv) Memberikan dukungan penuh kepada pelaku usaha UKM setelah menemukan peluang ekspor tersebut.
·         Rekomendasi Jangka Panjang:
Technology Upgrade, Memberikan update atas penggunaan teknologi yang dapat meningkatkan kinerja atau kemampuan para pelaku usaha UKM antara lain melalui pelaksanaan pelatihan, mengadakan forum pertemuan antara pelaku usaha UKM, kesempatan dalam memperoleh fasilitas pembiayaan ekspor, dan lain sebagainya.
2.              Dukungan Ekspor dari Federal
·         Rekomendasi Jangka Pendek
Melalui rekomendasi Federal Export Assitance dalam kurun waktu singkat beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:
a.       Fokus pada diversifikasi pasar (New Market Exporter Initiative);
b.      Menarik lebih banyak para pembeli asing ke pameran-pameran dagang di AS dan membentuk kemitraan antara pembeli dengan perusahaan-perusahaan AS;
c.       Meningkatkan jumlah perusahaan AS yang menghadiri pameran dagang di luar negeri;
d.      Meningkatkan dukungan pemerintah AS terhadap ekspor yang berorientasi pada efisiensi energi dan energi terbaharukan;
e.       Memperluas kesempatan berbisnis bagi industri energi nuklir AS;
f.       Meningkatkan kemampuan entitas bisnis minoritas di AS dalam melakukan kegiatan ekspor;
g.      Meningkatkan anggaran untuk infrastruktur promosi perdagangan.
·         Rekomendasi Jangka Panjang
a.       Meningkatkan koordinasi dengan negara bagian dalam hal program promosi ekspor;
b.      Mengidentifikasi dan mendorong ekspor oleh perusahaan AS yang menjual teknologi di sektor-sektor yang pertumbuhannya tinggi;
c.       Meningkatkan dukungan bagi perusahaan-perusahaan AS yang mengekspor ke Brasil, India, dan China;
d.      Mengimplementasikan strategi promosi ekspor di negara-negara yang telah ditentukan – pasar dimana perusahaan AS dapat meningkatkan keuntungan dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.
3.              Misi Dagang
·         Rekomendasi
a.       Mengembangkan dan meningkatkan target misi dagang;
b.      Meningkatkan jumlah misi dagang yang dilakukan oleh para pejabat senior dari Export Promotion Cabinet dan TPCC agencies;
c.       Menindaklanjuti hasil misi dagang dengan para perusahaan yang ikut serta dalam misi dagang;
d.      Meningkatkan jumlah misi dagang yang sempat tertunda;
e.       Memperkuat infrastruktur promosi ekspor untuk mendukung misi dagang;
f.       Menghubungkan misi dagang AS dengan pameran-pameran dagang.
4.              Memberikan Dukungan Komersial (Commercial Advocacy)
·         Rekomendasi Jangka Pendek
a.       Meningkatkan koordinasi antar unit;
b.      Secara cepat membawa commercial advocacy khusus ke dalam perhatian Gedung Putih;
c.       Meningkatkan kesadaran perusahaan AS akan manfaat commercial advocacy;
d.      Melakukan market intelligence untuk membuka peluang ekspor.
·         Rekomendasi Jangka Panjang
a.       Mengkolaborasi para eksportir utama AS dengan efektif;
b.      Mengembangkan tim-tim commercial advocacy yang fokus pada sektor-sektor utama dan pasar internasional;
c.       Mengkaji dampak dari pembiayaan perdagangan dan kredit ekspor terhadap commercial advocacy. 
5.              Meningkatkan Kredit Ekspor
·         Rekomendasi
a.       Menyediakan kredit ekspor lebih banyak;
b.      Memudahkan pinjaman bagi UKM;
c.       Fokus pada aktivitas peminjaman dan pencapaian pasar internasional yang menjadi prioritas;
d.      Meningkatkan usaha untuk menciptakan industri-industri global yang kompetitif;
e.       Meningkatkan jumlah dan cakupan kemitraan publik dan swasta (public-private partnerships);
f.       Menyederhanakan dan mengkaji ulang aplikasi proses ekspor bagi para eksportir AS, terutama UKM.
6.              Menyeimbangkan Ekonomi Makro
·         Rekomendasi Jangka Pendek:
Memperkuat perbaikan ekonomi global.
·         Rekomendasi Jangka Panjang:
Menyeimbangkan permintaan global.
7.              Mengurangi Hambatan Dagang
·         Rekomendasi 1: negosiasi untuk membuka akses pasar baru
a.       Menyelesaikan perjanjian Putaran Doha WTO;
b.      Menyelesaikan kesepakatan TPP;
c.       Menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk mendapatkan persetujuan Kongres terhadap implementasi perjanjian FTA dengan Korea, Panama dan Kolombia yang sempat tertunda;
d.      Menciptakan peluang pasar bagi barang dan jasa lingkungan;
e.       Mengembangkan peluang bagi perusahaan AS untuk berkompetisi di emerging markets.
·         Rekomendasi 2: memanfaatkan perjanjian perdagangan dan forum kebijakan perdagangan
a.       Memperkuat komitmen kebijakan perdagangan dengan mitra dagang;
b.      Memaksimalkan hasil-hasil yang dicapai dalam KTT APEC 2011 dimana AS menjadi tuan rumahnya;
c.       Memperdalam komitmen kerjasama dengan negara-negara emerging markets utama, seperti China, India, Brasil;
d.      Mengembangkan kebijakan perdagangan dengan negara-negara emerging markets lainnya, seperti Kolombia, Indonesia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dll ;
e.       Memanfaatkan mekanisme kebijakan perdagangan bilateral untuk memperluas peluang akses pasar;
f.       Menangani hambatan-hambatan perdagangan non tarif terhadap produk industri dan pertanian;
g.      Meningkatkan usaha dalam menangani permasalahan UKM;
h.      Mendorong peningkatan pembangunan kapasitas dalam bidang perdagangan dengan negara-negara emerging markets.
·         Rekomendasi 3: mendorong pelaksanaan kebijakan yang baik
a.       Memperkuat pelaksanaan dan pengawasan;
b.      Melipatgandakan usaha dalam mengawasi pelaksanaan FTA secara menyeluruh;
c.       Memanfaatkan kebijakan perdagangan untuk melindungi dan melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI);
d.      Menangani permasalahan korupsi melalui perjanjian perdagangan dan pembangunan kapasitas.
·         Rekomendasi 4: memperkuat sistem perdagangan multilateral
WTO tetap merupakan alas kerjasama multilateral bagi kebijakan perdagangan AS.
8.              Promosi Ekspor Jasa
·         Memastikan tersedianya data dan pengukuran yang lebih baik bagi perdagangan sektor jasa AS;
·         Fokus pada sektor dan pasar utama untuk koordinasi promosi ekspor yang lebih baik untuk sektor jasa;
·         Mengurangi hambatan dagang terdadap ekspor jasa AS.
2.4 Permasalahan UMKM
2.4.1 Masalah- Masalah Utama
Perkembangan UMKM di NSB dihalangi oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut berbeda antar daerah satu dengan daerah lain. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UKM di negara manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku input lainnya.           
Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap UMI dan UK di industri manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik dari kelompok usaha ini di Indonesia. Permasalahan utama yang dihadapi sebagian besar dari responden adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden, terutama yang berlokasi di pedalaman, tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau lembaga lainnya.
Dalam  hal pemasaran, UMKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul atau trading house) untuk memasarkan produk-produk mereka,atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi.
Dapat disimpulkan bahwa permasalahan-permasalahan utama berbeda antarnegara, termasuk tingkat pembangunan UMKM, tingkat dan bentuk pembangunan ekonomi, sifat dan derajat dari distorsi pasar, kebijakan pemerintah, dan tentu bentuk serta intensitas dari intervensi pemerintah terhadap pembangunan UMKM. Namun demikian, ada satu permasalahan yang dihadapi UMKM di semua Negara, yakni keterbatasan modal yang terutama karena kecilnya atau tidak ada akses ke bank atau lembaga keuangan lainnya.
2.4.2 Hambatan UMKM
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan terhadap masalah-masalah perekonomian.  
Kuncoro (2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dialami oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Hasil penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga memperkuat persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar daripada UB. Bila dilihat dari persentasi jawaban responden, secara umum hambatan utama dalam berusaha adalah sumber pembiayaan.
Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006)   mengidentifikasikan permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang pengetahuan manajemen keuangan, dan  (8)  Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan)
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam Sri Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47 %,  sisanya 27,53 % tidak ada masalah.  Dari  72,47 % yang mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %.
Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan  permodalan  (51.09%).   Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura, lainnya.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi  UMKM dalam mendapatkan kredit modal usaha antara lain adalah (1) Prosedur pengajuan yang  sulit   30,30 %, (2) Tidak berminat 25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4)  UMKM yang tidak tahu prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi  8,82 %, (6)  Proposal ditolak (1,93 %).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa:
·         Kurangnya modal yang dimiliki oleh UMKM
·         Akses terhadap modal yang sulit dijangkau
·         Pengelolaan yang kurang profesional
·         Kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat
·         Rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM
·         Kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM
·         Bahan baku sukar diperoleh
·         Pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kinerja UMKM di Indonesia memang cukup bagus. Dapat kita ambil pernyataan jika pada periode 2006-2010 merupakan masa pertumbuhan yang bagus bagi UMKM. Selama periode tersebut UMKM bertambah sebanyak 4.801.929 unit atau sebesar 9,80%. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM juga mengalami peningkatan yang cukup pesat. Selama 5 tahun, tercatat ada peningkatan jumlah tenaga kerja UMKM sebanyak 11.492.177 atau 13,07%.
Namun UMKM juga memiliki berbagai hambatan dalam hal pengelolaan usahanya. Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah pengelolaan yang kurang profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku sukar diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa:
·         Kurangnya modal yang dimiliki oleh UMKM
·         Akses terhadap modal yang sulit dijangkau
·         Pengelolaan yang kurang profesional
·         Kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat
·         Rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM
·         Kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM
·         Bahan baku sukar diperoleh
·         Pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit

B. Saran
Untuk lebih meningkatkan kinerja UMKM, pemerintah perlu membuat  terobosan-terobosan dan alternatif program pemberdayaan UMKM. Hambatan-hambatan UMKM juga harus dikurangi pemerintah dengan cara penumbuh kembangan iklim usaha yang kondusif.

DAFTAR PUSTAKA

1 komentar: