BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
adalah sebuah usaha ekonomi produktif yang memiliki jumlah kekayaan dan
penjualan tahunan tertentu dan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang untuk
menentukan kategori usaha tersebut. Pengertian UMKM menurut BPS di dalam
Kuncoro usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga.
BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1)
industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan
pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4)
industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih
Menurut
Sri Winarni (2006) Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara
lain sebagai berikut (1) Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum
berbadan hukum perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur
organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4) Kebanyakan
tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan
pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen rendah dan jarang
yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi,
(7) Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik memiliki ikatan batin
yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi
kewajiban pemilik.
Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah
(UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejarah
membuktikan, ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998 banyak usaha besar
yang tumbang karena dihantam krisis tersebut, namun UMKM tetap eksis dan
menopang kelanjutan perekonomian Indonesia. Tercatat, 96% UMKM di Indonesia
tetap bertahan dari goncangan krisis. Hal yang sama juga terjadi di tahun
2008-2009. Ketika krisis datang dan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan
ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru selamat ekonomi Indonesia.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
juga berperan dalam memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi
secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan
peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan
dalam mewujudkan stabilitas nasional. Berdasarkan data BPS (2003), populasi
usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9
persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen.
Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7
persen. Angka tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM
dari tahun ke tahun.
Kinerja UMKM di Indonesia memang
cukup membanggakan, apabila dilihat dari jumlah UMKM dan penyerapan UMKM
terhadap tenaga kerja. Dalam bab selanjutnya akan dibahas mengenai kinerja UMKM
di Indonesia dan hambatannya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kinerja UMKM di Indonesia
Sudah sering sekeali didalam banyak seminar dan media massa
bahwa UMKM di Indonesia sangat penting, terutama sebagai sumber pertumbuhan
kesempatan kerja atau pendapatan. Dalam beberapa tahun belkangan ini pemerintah
telah menerapkan strategi baru. Didukung oleh pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yang baik, strategi ini dipercaya bisa mendorong
pembangunan ekonomi daerah sesuai keunggualan komparatif dan kompetitif yang
ada.
UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering
dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti
tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan
distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah
perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan
dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya
penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED),
dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun 2000,
adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh
fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu
berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga
tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi
disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu : (1) Sebagian UKM menghasilkan
barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan
lama, (2) Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing
dalam aspek pendanaan usaha, (3) Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk
yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan
(4) Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan
kerja di sektor formal.
UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai
penopang perekonomian. Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini
pada dasarnya adalah sektor UKM. Berkaitan dengan hal ini, paling tidak
terdapat beberapa fungsi utama UKM dalam menggerakan ekonomi Indonesia, yaitu
(1) Sektor UKM sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak
tertampung di sektor formal, (2) Sektor UKM mempunyai kontribusi terhadap
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dan (3) Sektor UKM sebagai sumber
penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan
sektor ini.
Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa asek,
yaitu (1) nilai tambah, (2) unit usaha, tenaga kerja dan produktivitas, (3)
nilai ekspor. Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut
1.
Nilai Tambah
Kinerja perekonomian
Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila dibandingkan tahun
sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) UKM
pertumbuhannya mencapai 5,4 persen. Nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku
mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp 287,7 triliun dari tahun 2005
yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM memberikan kontribusi 53,3 persen
dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci menurut skala usaha, pada tahun 2006
kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7 persen, Usaha Menengah sebesar 15,6 persen,
dan Usaha Besar sebesar 46,7 persen.
2.
Unit Usaha dan Tenaga Kerja
Pada tahun 2006
jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap
total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4
juta orang.
3.
Ekspor UKM
Hasil produksi UKM
yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari Rp 110,3 triliun pada
tahun 2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun 2006. Namun demikian peranannya
terhadap total ekspor non migas nasional sedikit menurun dari 20,3 persen pada
tahun 2005 menjadi 20,1 persen pada tahun 2006.
2.1.1 Pertumbuhan Unit Usaha dan
Tenaga Kerja
Menurut data dari Menteri Negara
Urusan Koperasi dan UMKM (Menegkop & UKM) dan BPS pada tahun 2006, jumlah
UMK mencapai sekitar 99,77 persen dari jumlah usaha yang ada di Indonesia,
sedangkan jumlah UM dan UB masing-masing 0,22 peren dan 0,01 persen. Namun aju
pertumbuhan unit usaha dari kelompok UM jauh lebih tinggi daripada UMK
Dilihat dari aspek kesempatan kerja,
pada tahun 2006 UMK memeperkerjakan 80.933.384 orang, atau sekitar 91,4 persen
dari jumlah angkatan kerja yang bekerja. Menurut wilayah, sebagian besar UMKM
terdapat di Jawa. Distribusi wilayah dari \umk memberi kean adanya suatu
korelasi positif antara pertumbahan usaha dari kategori ini dengan pertumbuhan
dari variabel penentu sisi permitaan maupun sisi suplai.
Satu hal yang mencolok dari data BPS
adalah sebagian bsar dari jumlah UMK terdapat di sektor pertanian, sementara UB
di sektor manufaktur. Struktur UMK di Indonesia masih lemah alam kegiatan industri
dibanding Taian, Korea Selatan, dan Jepang. Indonesia ,e,iliki potensi
industri, namun harus memperbaiki penguasaan teknlogi informasi dan kualitas
SDM.
Kelompok industi yang paling penting
bagi umk adalah makanan, minuman, dan tembakau; tekstil, pakaian jadi, kulit
dan alas kaki; dan produk kayu. Dari hasil penelitian Thee (1997), Sato (1998),
dan Tambunan (1999) menemukan bahwa di Indonesia keterkaitan produksi dalam
sisten subcntracting antara UMKM dan UB di indutri otomotif, elektronik, dan
mesin belum sekuat negara maju di wilayah Asia, khususnya Jepang, Korea
Selatan, Taiwan.
2.1.2 Struktur Output dan
Pangsa PDB
Data pemerintah menunjukkan bahwa
dalam nilai riil, PDB dari UMK di semua sector ekonomi pada tahun 1997 hanya 38
persen. Pada tahun 1998, pada saat krisis ekonomi mencapai titik terburuknya
dengan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai minus 13 persen, kontribusi output
dari UMK dalam pembentukan PDB riil naik hanya sedikit, yakni hamper 41 persen.
Pada tahun 1999, pangsa output agregat dari kelompok usaha ini naik ke sekitar
41,3 persen, dan setelah itupada tahun 2000 naik lagi sedikit ke 40,4 persen
dan kenaikan ini berlangsung terus hingga 2006. Selama periode krisis
(1997-1998) laju pertumbuhan output di UMK tercatat minus 19,3 persen, dan
setelah krisis kinerja UMK lebih baik, walaupun dalam tahun-tahun pertama laju
pertumbuhan rata-rata per tahun masih negative sekitar 2,5 persen.
Tahun 2000 UM menyumbang PDB riil
sebesar 16,3 persen. Selama periode krisis, output-nya UM juga mengalami
pertumbuhan yang negative hampir 35%. Ini menunjukkan bahwa UM mengalami lebih
banyak kemunduran akibat krisis ekonomi daripada UMK. Sedangkan UB menyumbang
PDB riil sebesar 43 persen. Saat krisis UB juga mengalami penurunan yang
tinggi, namun setelah krisis perbaikan produksi di UB lebih baik daripada UMKM.
Laju pertumbuhan output selama
periode 2001-2006:
·
UMK
mengalami kenaikan dari 3,96 % menjadi 5,38%.
·
UM
mengalami kenaikan dari 4,59% menjadi 5,44%
·
UB
mengalami kenaikan dari 3,1% menjadi 5,7%.
Dilihat dari pangsa PDB non
migas, pangsa PDB UMKM lebih besar daripada UB, dan sejak tahun 2005
cenderung meningkat terus. Dan sumbangan UMK terhadap pembentukan PDB non migas
dua kali lebih besar daripada UM.
Dipandang dari struktur PDB menurut
skala usaha dan sektor tahun 2003-2006, UMKM memiliki keunggulan di sector yang
berbasis sumber daya local dan padat karya, seperti pertanian dan perdagangan,
hotel dan restoran. Sedangkan konsentrasi PDB dari UM terjadi di sejumlah
sector tersier. Dengan pangsa terbesar di sector keuangan da lainnya. Dan
pangsa terbesar dari UB adalah di sektor pertambangan dan industri manufactur.
Selain perbedaan dalam pemilikan
factor-faktor utama penentu produksi, variasi dalam pangsa PDB antara skala
usaha itu juga bias dikarenakan perbedaan dalam permasalahan dan kondisi
eksternal ( termasuk tingkat persaingan dan kebijakan pemerintah).
Pada awal era orde baru, pemerintah
menerapkan kebijakan subtitusi impor untuk mengembangkan industry nasional.
Lalu pada decade 80-an kebijakan tersebut diganti dengan kebijakan strategi
promosi ekspor. Dari dua kebijakan tersebut mengakibatkan perkembangan yang
pesat pada industri skala besar. Di era 70-an dan 80-an banyak UB muncul di
industry manufaktur . Namun, UMKM juga tidak mengalami penurunan dalam
subsector industri.
Penjelasan utama dari kesanggupan
UMKM diindonesia untuk tetap bertahan di tengah –tengah persaingan
persaingan ketat dari UB dan barang-barang impor :
·
Kemampuan-kemampuan
mereka untuk mengeksplosit lowongan-lowongan yang ada
·
Mengonsentrasikan
pada kegiatan-kegiatan industry yang dicirikan oleh aglomorasi ekonomi daripada
skala ekonomi
·
Melayani
pasar-pasar tertentu yang dari sisi komersial tidak menguntungkan UB
·
Membuat
barang-barang yang pada proses produksinya tidak mudah diterapkan teknik/pola
produksi massal.
2.1.3 UMKM sebagai sumber kemiskinan
Distribusi kesempatan kerja menurut
skala usaha menegaskan bahwa UMKM merupakan penyerap tenaga kerja terbesar
dibandingkan UB. Dan UMKM juga penting sebagai salah satu sumber penciptaan
PDB. Namun secara teori, UMKM memiliki pangsa PDB yang tinggi karena jumlah
unit yang sangat banyak dengan pertumbuhan output rata-rata per unit yang
rendah. Dapat dikatakan UMKM memiliki produktivitas yang rendah dibandingkan
UB.
Khusus di industri manufaktur, periode 2001-2005, produktivitas tenaga
kerja di UB dan UM pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 257,58 juta per pekerja,
sedangkan UMK hanya sebanyak Rp 19,83 juta per pekerja. Pada tahun 2001,
produktivitas tenaga kerja di UB dan UM sebesar Rp 167,70 juta di bandingkan
UMK hanya sebesar Rp 10,98 juta. ( sumber : BPS)
Alternatif lainnya untuk mengukur tingkat kesejahteraan di UMKM adalah dengan
menghitung tingkat produktivitas per unit usaha, yakni nilai output atau nilai
tambah perunit usaha. Dalam kelompok UMKM tingkat produktivitas unit usaha dari
UMK lebih rendah daripada UM. Meskipun produktivitas unit usaha dai UMK terus
meningkat secara konsisten, nilainya tetap kecil, terutama dibandingkan dengan
UB yang mencapai triliun rupiah per perusahaan.
Selain nilai output , tingkat
produktivitas usaha diukur oleh rata-rata nilai penjualan per hari. Nilai omset
adalah nilai keseluruhan barang dan jasa yang diperdagangkan. UMI memiliki
nilai omset rata-rata perhari perusaha jauh lebih rendah dibandingkan UK
apalagi UM. Sedangkan rasio yang sama dikedua subkelompok usaha lebih tinggi
daripada rata-rata UMKM
Selain nilai output , tingkat
produktivitas usaha diukur oleh rata-rata nilai penjualan per hari. Nilai omset
adalah nilai keseluruhan barang dan jasa yang diperdagangkan. UMI memiliki
nilai omset rata-rata perhari perusaha jauh lebih rendah dibandingkan UK
apalagi UM. Sedangkan rasio yang sama dikedua subkelompok usaha lebih tinggi
daripada rata-rata UMKM.
Menurut sebuah laporan BPS ,
keuntungan UMKM terhadap keuangan keluarga mendukung pandangan tesebut. Ada
kecendrungan semakin besar skala usaha semakin besar rata-rata anggota rumah
tangga (ART) . Kelompok UMI memiliki rasio ketergantungan sebesar 4,3 yang
artinya rata-rata sebanyak 4,3 orang ART hidupnya dibiyai oleh satu unit UMI.
Kecendrungan lain adalah semakin besar skala usaha semakin besar pula
kontribusi keuntungan usaha tsb.
Kecilnya sumbangan keuntungan/
pendapatan UMKM terhadap total pendapatan RT pengusaha, menandakan bahwa sumber
pendapatan RT pengusaha UMKM tidak hanya dari kegiatan UMKM, tetapi juga dari
sumber lainnya. Ini artinya ada ART lainnya bekerja ditempat lain. Seperti pada
tabel 3.12 persentase dari ART yang bekerja diluar usaha di UMI lebih besar
daripada di UK dan UM. Dapat dikatakan bahwa semakin kecil skala usahasemakin
kecil pula peran usaha sebagai sumber utama / satu-satunya pendapatan RT.
Korelasi ini sejalan dengan korelasi positif antara skala usaha dan
produktivitas. Faktor utama yang membuat rendahnya produktivitas di UMKM di
Indonesia adalah tingkat pendidikan formal pekerja yang rendah dan keterbatasan
modal.Upaya peningkatan produktivitas tidak bisa tanpa nbantuan mesin modern
atau teknologi baru, dan pemakaian mesin modernitu sendiri tidak akan memberika
hasil optimal tanpa dibarengi keterampilan.
Rendahnya tingkat pendidikan formal pekerja
dan pengusaha di UMKM tidak hanya membuat rendahnya produktivitas yang
selanjutnya, sesuai mekanisme pasar, membuat rendahnya pendapatan riil
rata-rata per pekerja atau tingkat keuntungan rata-rata per perusahaan.
2.1.4 Pengujian Teori ‘Klasik’ dan
Teori ’ Modern’
Berdasarkan teori klasik dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi pendapatan riil per kapita, semakin rendah
pangsa PDM dari UMKM atau semakin sedikit jumlah unit usahanya. Sedangkan
berdasarkan teori modern sebaliknya.
Secara metodologi, ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran teori modern dan klasik. Salah
satunya dengan menguji secara empiris bentuk dari korelasi-korelasi antara
UMKM dan pendapatan per kapita dan program pemerintah untuk pengembangan
UMKM dengan menggunakan sebuah model regresi sederhana(LeastSquare ;LS)
Di dalam studi ini, tingkat
pembangunan ekonomi diukur dengan tingkat pendapatan riil per kapita
,program-program pengembangan UMKM dari pemerintah dengan rasio dari total
pengeluaran pembangunan pemerintah terhadap PDB, sejak tidak ada data lengkap,
apalagi sifat nya deret waktu, mengenai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
selama ini untuk membiayai berbagai macam program pengembangan UMKM; dan
pertumbuhan UMKM dengan pangsa dari total nilai tambah dari UMKM di dalam PDB.
2.2 Kinerja UMKM di Indonesia Dalam Pasar Global
Ditengah
tuntutan kemampuan bersaing didalam negeri yang masih dilindungi oleh proteksi
pemerintah, UKM juga harus menghadapi persaingan global yang berasal dari
berbagai bentuk usaha mendorong integrasi pasar antar negara dengan seminimal
mungkin hambatan. Berbagai bentuk kerjasama ekonomi regional maupun
multilateral sperti AFTA, APEC dan GATT berlangsung dengan cepat dan mendorong
perekonomian yang semakin terbuka. Pada kondisi lain, strategi
pengembangan UKM masih menghadapai kondisi nilai tambah yang kecil termasuk
kontribusinya terhadap ekspor.
Dengan
pergeseran yang terjadi pada tatanan ekonomi dunia yang mengarah pada
persaingan bebas, dapat dikatakan bahwa UKM sesungguhnya mengahadapi situasi
yang bersifat double squeze, yaitu [a] situasi yang datang dari sisi internal
(dalam negeri) berupa ketertinggalan dalam produktivitas, efisiensi dan
inovasi, dan [b] situasi yang datang dari ekstermal pressure. Salah satu aspek
penting yang perlu mendapat perhatian dari kombinsi situasi yang dihadapi ini
adalah masalah ketimpangan struktur usaha seperti yang diungkapkan diawal dan
juga kesenjangan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah. Sedikitnya
terdapat tiga keadaan yang membentuk terjadinya kesenjangan antar skala usaha
di Indonesia.
Pertama, akses
usaha/industri besar terhadap teknologi dan menajemen modern jauh lebih besar
daripada UKM. UKM masih bertahan pada teknologi dan manajemen yang sederhana
bahkan cenderung tradisionil. Bahkan industri menengah yang dalam data BPS
digabungkan dengan industri besar masih menunjukkan ciri dan karakter usaha
kecil dalam hal akses teknologi dan manajemen usaha.
Kedua, akses usaha
skala besar terhdap pasar (termasuk informasi pasar) juga lebih terbuka,
sementara UKM masih berkutat pada bagaimana mempertahankan pasar dalam negeri
ditengah persaingan yang ketat dengan usaha sejenis.
Ketiga, kurangnya
keberpihakan kebijakan dan keputusan strategis pemerintah pada UKM pada masa
lalu yang lebih menjadikan UKM sebagai entitas sosial dan semakin memperburuk
dua kondisi diatas.
Untuk masa
mendatang dengan tantangan globalisasi ekonomi dan persaingan bebas, struktur
yang timpang dan kesenjangan akses ini tidak relevan lagi untuk dipertahankan.
Tidak ada jalan lain bagi Indonesia selain melakukan reformasi struktur usaha
yang ada saat ini. Dalam konteks reformasi ini, menjadi sangat relevan untuk
diberi ruang gerak yang longgar guna mengejar ketertinggalan namun juga dengan
strategi yang tepat.
Dari sisi external
pressure, liberalisasi perdagangan – melalui penurunan tarif maupun
penghapusan quota - , kondisi pasar akan bergerak dari kurang kompetitif
(karena besarnya intervensi dan praktek monopoli, oligopoli dan monopsoni) ke
arah pasar yang lebih kompetitif. Dalam kondisi yang demikian, UKM akan
terdorong untuk menuju pada efisiensi penggunaan input (least cost argument).
Liberalisasi perdagangan seharusnya juga membuka peluang bagi perluasan pasar
produk UKM itu sendiri melalui kemunculan insitusi yang secara spesifik
ditujukan untuk membuka dan memperluas akses pasar UKM. Diantara bentuk
institusi yang dinilai mampu memainkan fungsi tersebut adalah penguatan trading
house sebagai piuntu saluran ekspor produk UKM dan pola subkontrak(Tambunan dan
Seldadyo, 1996)
Namun demikian,
tidak seluruh UKM dapat memanfatkan situasi pasar yang demikian untuk menembus
pasar yang lebih luas atau bersaing dalam pasar yang semakin global. Sebagian
besar UKM adalah perusahaan yang independen termasuk dalam memasarkan
produknya. Sementara, dalam perdagangan bebas, sebenarnya tidaklah mudah bagi
UKM yang independen untuk masuk pada pasar ekspor. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa : [i] tingkat kompetisi yang tinggi juga muncul dari UKM yang
berada salam pasar output yang sama, dan [ii] adanya kelemahan inherent yang
melekat dalam UKM itu sendiri. Dalam kondisi ini, kendati peluang pasar yang
lebih terbuka menjadi lebih luas, liberalisasi perdagangan tidaklah otomatis
dapat membantu UKM, bahkan justru menjadi ancaman bagi UKM. Disinilah dirasakan
pentingnya peran pemerintah maupun institusi penopang untuk mendongkrak kinerja
UKM.
2.3 Kebijakan Perdagangan Amerika Serikat Dalam Meningkatkan Kinerja Ekspor
Langkah awal yang diambil
pemerintahan Obama adalah dengan disusunnya The President’s 2010 Trade
Policy Agenda yang menggagas terbentuknya Export Promotion Cabinet
yang fokus dalam menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai
peningkatan nilai ekspor hingga 2 kali lipat dari US$ 1.57 triliun tahun 2009
menjadi US$ 3.14 triliun pada tahun 2015, dan tentunya diharapkan dapat membuka
lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat AS.
National Export Initiatives (NEI) yang disusun oleh
Pemerintahan Obama ini bertujuan untuk dapat menganalisa dan memberikan
rekomendasi serta bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan guna
mencapai target ekspor yang ditentukan tersebut.
Adapun fokus utama dan
langkah-langkah perbaikan yang dilakukan oleh NEI meliputi:
1.
Meningkatkan
usaha advokasi dan promosi perdagangan sehingga kegiatan promosi yang dilakukan
melalui misi dagang dapat didukung dengan baik.
2.
Meningkatkan
akses atas fasilitas pembiayaan ekspor (export financing);
3.
Menghilangkan
hambatan-hambatan perdagangan di negara mitra dagang AS;
4.
Menata
dan menerapkan peraturan perdagangan sesuai perjanjian dengan mitra dagang
AS;
5.
Menyusun
kebijakan perdagangan global untuk dapat mempromosikan pertumbuhan yang
kuat, berkelanjutan dan seimbang.
Melalui langkah-langkah perbaikan
yang dilakukan tersebut maka disusunlah 8 (delapan) rekomendasi sebagai
prioritas oleh NEI, yang melalui rekomendasi tersebut melibatkan koordinasi
antar instansi/kementerian AS yang sifatnya lintas sektoral.
Rekomendasi yang disusun dengan
beberapa rumusan disampaikan melalui capaian jangka pendek dan jangka panjang,
sebagai berikut:
1.
Peningkatan
Ekspor oleh UKM
·
Rekomendasi
Jangka Pendek:
Dalam rekomendasi peningkatan ekspor
oleh kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), diperlukan dukungan pemerintah
dalam tahap (i) identifikasi pelaku usaha UKM yang potensial dalam melakukan
ekspor; (ii) Melatih dan mempersiapkan pelaku usaha UKM yang telah
teridentifikasi; (iii) Menghubungkan pelaku usaha UKM dengan pelaku usaha
dinegara tujuan ekspor; dan (iv) Memberikan dukungan penuh kepada pelaku usaha
UKM setelah menemukan peluang ekspor tersebut.
·
Rekomendasi
Jangka Panjang:
Technology Upgrade, Memberikan update atas penggunaan
teknologi yang dapat meningkatkan kinerja atau kemampuan para pelaku usaha UKM
antara lain melalui pelaksanaan pelatihan, mengadakan forum pertemuan antara
pelaku usaha UKM, kesempatan dalam memperoleh fasilitas pembiayaan ekspor, dan
lain sebagainya.
2.
Dukungan
Ekspor dari Federal
·
Rekomendasi
Jangka Pendek
Melalui rekomendasi Federal
Export Assitance dalam kurun waktu singkat beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah:
a. Fokus pada diversifikasi pasar
(New Market Exporter Initiative);
b. Menarik lebih banyak para pembeli
asing ke pameran-pameran dagang di AS dan membentuk kemitraan antara pembeli
dengan perusahaan-perusahaan AS;
c. Meningkatkan jumlah perusahaan AS
yang menghadiri pameran dagang di luar negeri;
d. Meningkatkan dukungan pemerintah AS
terhadap ekspor yang berorientasi pada efisiensi energi dan energi
terbaharukan;
e. Memperluas kesempatan berbisnis bagi
industri energi nuklir AS;
f. Meningkatkan kemampuan entitas
bisnis minoritas di AS dalam melakukan kegiatan ekspor;
g. Meningkatkan anggaran untuk
infrastruktur promosi perdagangan.
·
Rekomendasi
Jangka Panjang
a. Meningkatkan koordinasi dengan
negara bagian dalam hal program promosi ekspor;
b. Mengidentifikasi dan mendorong
ekspor oleh perusahaan AS yang menjual teknologi di sektor-sektor yang
pertumbuhannya tinggi;
c. Meningkatkan dukungan bagi
perusahaan-perusahaan AS yang mengekspor ke Brasil, India, dan China;
d. Mengimplementasikan strategi promosi
ekspor di negara-negara yang telah ditentukan – pasar dimana perusahaan AS
dapat meningkatkan keuntungan dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.
3.
Misi
Dagang
·
Rekomendasi
a. Mengembangkan dan meningkatkan
target misi dagang;
b. Meningkatkan jumlah misi dagang yang
dilakukan oleh para pejabat senior dari Export Promotion Cabinet dan
TPCC agencies;
c. Menindaklanjuti hasil misi dagang
dengan para perusahaan yang ikut serta dalam misi dagang;
d. Meningkatkan jumlah misi dagang yang
sempat tertunda;
e. Memperkuat infrastruktur promosi
ekspor untuk mendukung misi dagang;
f. Menghubungkan misi dagang AS dengan
pameran-pameran dagang.
4.
Memberikan
Dukungan Komersial (Commercial Advocacy)
·
Rekomendasi
Jangka Pendek
a. Meningkatkan koordinasi antar unit;
b. Secara cepat membawa commercial
advocacy khusus ke dalam perhatian Gedung Putih;
c. Meningkatkan kesadaran perusahaan AS
akan manfaat commercial advocacy;
d. Melakukan market intelligence untuk
membuka peluang ekspor.
·
Rekomendasi
Jangka Panjang
a. Mengkolaborasi para eksportir utama
AS dengan efektif;
b. Mengembangkan tim-tim commercial
advocacy yang fokus pada sektor-sektor utama dan pasar internasional;
c. Mengkaji dampak dari pembiayaan
perdagangan dan kredit ekspor terhadap commercial advocacy.
5.
Meningkatkan
Kredit Ekspor
·
Rekomendasi
a. Menyediakan kredit ekspor lebih
banyak;
b. Memudahkan pinjaman bagi UKM;
c. Fokus pada aktivitas peminjaman dan
pencapaian pasar internasional yang menjadi prioritas;
d. Meningkatkan usaha untuk menciptakan
industri-industri global yang kompetitif;
e. Meningkatkan jumlah dan cakupan
kemitraan publik dan swasta (public-private partnerships);
f. Menyederhanakan dan mengkaji ulang
aplikasi proses ekspor bagi para eksportir AS, terutama UKM.
6.
Menyeimbangkan
Ekonomi Makro
·
Rekomendasi
Jangka Pendek:
Memperkuat perbaikan ekonomi global.
·
Rekomendasi
Jangka Panjang:
Menyeimbangkan permintaan global.
7.
Mengurangi
Hambatan Dagang
·
Rekomendasi
1: negosiasi untuk membuka akses pasar baru
a. Menyelesaikan perjanjian Putaran
Doha WTO;
b. Menyelesaikan kesepakatan TPP;
c. Menyelesaikan berbagai permasalahan,
termasuk mendapatkan persetujuan Kongres terhadap implementasi perjanjian FTA
dengan Korea, Panama dan Kolombia yang sempat tertunda;
d. Menciptakan peluang pasar bagi
barang dan jasa lingkungan;
e. Mengembangkan peluang bagi
perusahaan AS untuk berkompetisi di emerging markets.
·
Rekomendasi
2: memanfaatkan perjanjian perdagangan dan forum kebijakan perdagangan
a. Memperkuat komitmen kebijakan
perdagangan dengan mitra dagang;
b. Memaksimalkan hasil-hasil yang
dicapai dalam KTT APEC 2011 dimana AS menjadi tuan rumahnya;
c. Memperdalam komitmen kerjasama
dengan negara-negara emerging markets utama, seperti China, India,
Brasil;
d. Mengembangkan kebijakan perdagangan
dengan negara-negara emerging markets lainnya, seperti Kolombia,
Indonesia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dll ;
e. Memanfaatkan mekanisme kebijakan
perdagangan bilateral untuk memperluas peluang akses pasar;
f. Menangani hambatan-hambatan
perdagangan non tarif terhadap produk industri dan pertanian;
g. Meningkatkan usaha dalam menangani
permasalahan UKM;
h. Mendorong peningkatan pembangunan
kapasitas dalam bidang perdagangan dengan negara-negara emerging markets.
·
Rekomendasi
3: mendorong pelaksanaan kebijakan yang baik
a. Memperkuat pelaksanaan dan
pengawasan;
b. Melipatgandakan usaha dalam
mengawasi pelaksanaan FTA secara menyeluruh;
c. Memanfaatkan kebijakan perdagangan
untuk melindungi dan melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI);
d. Menangani permasalahan korupsi
melalui perjanjian perdagangan dan pembangunan kapasitas.
·
Rekomendasi
4: memperkuat sistem perdagangan multilateral
WTO tetap merupakan alas kerjasama
multilateral bagi kebijakan perdagangan AS.
8.
Promosi
Ekspor Jasa
·
Memastikan
tersedianya data dan pengukuran yang lebih baik bagi perdagangan sektor jasa
AS;
·
Fokus
pada sektor dan pasar utama untuk koordinasi promosi ekspor yang lebih baik
untuk sektor jasa;
·
Mengurangi
hambatan dagang terdadap ekspor jasa AS.
2.4 Permasalahan UMKM
2.4.1 Masalah- Masalah Utama
Perkembangan UMKM di NSB dihalangi
oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut berbeda antar daerah satu
dengan daerah lain. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk
semua UKM di negara manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan
yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi,
kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku input
lainnya.
Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap
UMI dan UK di industri manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik
dari kelompok usaha ini di Indonesia. Permasalahan utama yang dihadapi sebagian
besar dari responden adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran.
Walaupun banyak skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari
responden, terutama yang berlokasi di pedalaman, tidak pernah mendapatkan
kredit dari bank atau lembaga lainnya.
Dalam hal pemasaran, UMKM pada
umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau
memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung
pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul atau trading
house) untuk memasarkan produk-produk mereka,atau tergantung pada konsumen yang
datang langsung ke tempat-tempat produksi.
Dapat disimpulkan bahwa
permasalahan-permasalahan utama berbeda antarnegara, termasuk tingkat
pembangunan UMKM, tingkat dan bentuk pembangunan ekonomi, sifat dan derajat
dari distorsi pasar, kebijakan pemerintah, dan tentu bentuk serta intensitas
dari intervensi pemerintah terhadap pembangunan UMKM. Namun demikian, ada satu
permasalahan yang dihadapi UMKM di semua Negara, yakni keterbatasan modal yang
terutama karena kecilnya atau tidak ada akses ke bank atau lembaga keuangan
lainnya.
2.4.2 Hambatan UMKM
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih
menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun
eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah
(umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga
terbatas, UMKM sangat rentan terhadap masalah-masalah perekonomian.
Kuncoro (2000) mengungkapkan ada
beberapa kendala yang dialami oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Kendala
tersebut berupa tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya
manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial
dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu
menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang
dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang
pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan
dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan.
Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia.
Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem
informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan
yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang
terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha
kecil.
Hasil penelitian Schiffer-Weder
(2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga memperkuat persepsi bahwa UKM
menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar daripada UB. Bila dilihat dari
persentasi jawaban responden, secara umum hambatan utama dalam berusaha adalah
sumber pembiayaan.
Badan Pusat Statistik (2003) di
dalam Sri Winarni (2006) mengidentifikasikan permasalahan umum yang
dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam pemasaran,
(3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang teknis
produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang
pengetahuan manajemen keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang
kondusif (perijinan, aturan/perundangan)
Hasil penelitian kerjasama
Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam Sri Winarni (2006)
menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47 %,
sisanya 27,53 % tidak ada masalah. Dari 72,47 % yang mengalami
kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1)
Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan
1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %.
Persentase kesulitan yang dominan
dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan permodalan (51.09%).
Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan
permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam
ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non
bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura,
lainnya.
Sedangkan permasalahan yang
dihadapi UMKM dalam mendapatkan kredit modal usaha antara lain adalah (1)
Prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %, (2) Tidak berminat
25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4) UMKM yang tidak
tahu prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi 8,82 %, (6)
Proposal ditolak (1,93 %).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa:
·
Kurangnya
modal yang dimiliki oleh UMKM
·
Akses
terhadap modal yang sulit dijangkau
·
Pengelolaan
yang kurang profesional
·
Kesulitan
dalam persaingan usaha yang pesat
·
Rendahnya
tingkat inovasi pelaku UMKM
·
Kebijakan
pemerintah yang kurang pro UMKM
·
Bahan
baku sukar diperoleh
·
Pasar
yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kinerja UMKM di Indonesia memang
cukup bagus. Dapat kita ambil pernyataan jika pada periode 2006-2010 merupakan
masa pertumbuhan yang bagus bagi UMKM. Selama periode tersebut UMKM bertambah
sebanyak 4.801.929 unit atau sebesar 9,80%.
Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM juga mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Selama 5 tahun, tercatat ada peningkatan jumlah tenaga kerja UMKM sebanyak
11.492.177 atau 13,07%.
Namun UMKM juga memiliki berbagai
hambatan dalam hal pengelolaan usahanya. Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM
adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah pengelolaan yang kurang
profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya tingkat
inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku
sukar diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi
sulit.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa:
·
Kurangnya
modal yang dimiliki oleh UMKM
·
Akses
terhadap modal yang sulit dijangkau
·
Pengelolaan
yang kurang profesional
·
Kesulitan
dalam persaingan usaha yang pesat
·
Rendahnya
tingkat inovasi pelaku UMKM
·
Kebijakan
pemerintah yang kurang pro UMKM
·
Bahan
baku sukar diperoleh
·
Pasar
yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit
B. Saran
Untuk lebih meningkatkan kinerja
UMKM, pemerintah perlu membuat terobosan-terobosan dan alternatif program
pemberdayaan UMKM. Hambatan-hambatan UMKM juga harus dikurangi pemerintah
dengan cara penumbuh kembangan iklim usaha yang kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://tanmorib.blogspot.com/2011/01/usaha-kecil-menengah.html#!/2011/01/usaha-kecil-menengah.html
Sangat baik dan bermanfaat, coba juga nih Info UMKM dan Cara Mendapatkan Modal Usaha
BalasHapus